Tuesday, August 26, 2014

Semangat di Kampung Bandan


Jakarta sebagai pusat bisnis, pusat pemerintahan hingga pusat perekonomian membuat kota ini selalu tidak pernah kehilangan daya tariknya. Ironisnya, dibalik segala macam bentuk westernisasi yang ada di Jakarta, sifat konsumerisme masyarakatnya, dan kokohnya gedung pencakar langit, Jakarta tidak luput akan kemiskinan. Segelintir masyarakat yang masih hidup jauh dibawah kondisi kesejahteraan juga ikut meramaikan kota yang memiliki lebih dari 100 mall ini.


Berkeinginan untuk bertemu dengan masyarakat tersbut, saya dan kelompok saya berkesempatan berkunjung ke daerah kampung di bilangan Jakarta Utara, tepatnya di pinggiran kereta api yang sudah tidak terpakai lagi di belakang ITC Mangga Dua.  Dijemput dengan sebuah kendaraan bernama ‘Lori’ kami tiba di sekolah tersebut dengan cepat. Lori merupakan sebuah gerobak yang diberi roda yang diletakkan di rel seperti kereta yang didorong oleh manusia. Mendorong lori merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan anak-anak sekitar situ untuk mencari uang. Salah satu pendorong lori bernama Andre, seorang bocah kelas 6 SD yang katanya menggemari musik reggage. Dibalik tingkahnya yang slengean, ia mempunyai semangat yang besar untuk belajar. Ironisnya tidak semua anak yang tinggal di sana mempunyai kesempatan untuk sekolah, salah satunya yang bernama Roby. Roby yang juga merupakan seorang pendorong lori terpaksa putus sekolah ketika ia kelas 5 SD. Ia lebih memilih menjadi pendorong lori ketimbang menjadi seorang pelajar, karena dari lori ia bisa mendapat uang.

Selain Roby ada juga Puput yang berumur 10 tahun. Puput tidak pernah merasakan bangku sekolah karena tidak ada biaya sama sekali. Puput tinggal bersama ibu dan kakaknya karena ayahnya sudah lama meninggalkan keluarganya. Tadinya ibu Puput bekerja sebagai pemulung namun semenjak ditinggal oleh ayah Puput, beliau menjadi stress. Akhirnya kakak Puput yang masih berusia sekolah terpaksa bekerja menjadi kuli bangunan demi menghidupi keluarga.


Cerita dari Roby, Puput, Andre, maupun anak-anak lain yang meninggali tempat tersebut menyentuh hati saya. Ironis memang, ketika banyak anak-anak yang sudah diberi segala macam fasilitas oleh orang tuanya malah bermalas-malasan untuk sekolah, sedangkan mereka yang bisa dibilang serba kurang mempunyai semangat yang sangat tinggi dalam belajar. Masalah tentang rendahnya pendidikan di Indonesia memang menjadi salah satu masalah sosial yang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Usaha pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun, dan dana BOS kurang bisa berjalan dengan lancar, salah satunya juga karena mereka lebih memilih membantu orang tua mencari uang.

Pola pikir masyarakat Indonesia memang harus dirubah, banyak yang berpikir kalau pendidikan itu tidaklah begitu penting asalkan bisa mencari uang. Padahal kalau mereka menginginkan pekerjaan yang lebih ‘layak’ mereka juga butuh pendidikan. Oleh karena itu didirikanlah sebuah sekolah informal yang bernama The Umbrella Wisdom. 


The Umbrella Wisdom merupakan tempat dimana anak-anak yang tinggal di pinggiran rel tersebut bisa belajar membaca, menulis, berhitung, belajar bahasa asing seperti bahasa inggris, maupun belajar membuat sebuah karya seni. Selain belajar The Umbrella Wisdom juga mengadakan program lain dia

ntaranya menanam, kerja bakti, dan juga program makanan sehat yang dimasak oleh orang tua murid secara bergantian. The Umbrella Wisdom dibuka setiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Dengan adanya sekolah informal seperti itu sedikit banyak dapat  membantu anak-anak yang tidak mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah formal dalam mendapat masa depan yang diharapkan bisa mereka miliki lebih baik lagi dari kehidupan mereka yang sekarang. Semoga nantinya semakin banyak lagi sekolah-sekolah informal semacam The Umbrella Wisdom yang bermunculan karena masa depan Indonesia juga berada di tangan mereka.



No comments: